Rabu, 20 Desember 2017

PENERIMAAN MURID BARU LAPDA ASSALAM BANDUNGAN 2018-2019


AYOOO......!!!
SEGERA DAFTARKAN PUTRA PUTRI BAPAK IBU SEKALIAN DI SDIT ASSALAM BANDUNGAN - KAB. SEMARANG

INGAT YA.
MULAI TANGGAL 8 JANUARI 2018 - 23 MARET 2018



info lengkap hubungi :
Kantor (jam kerja) : (0298) 711177
HP. 085741641541
atau no kontak person pada brosur.

[admin/masluq]







Selasa, 29 Maret 2016

Pendidikan Islami Gaya Lukmanul Hakim

"Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar .. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai". (Luqman: 13-19)
Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman.
Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak sesuai dengan pesan Al-Quran. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.
Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak menmpersekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu dan santun yang tercermin dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.
Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah. Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di antaranya berbakti dan berbuat maruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt. Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi.
Serta menjalankan aktifitas amar maruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu dan tidak sombong, baik dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang benar.
Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara prioritas..
Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya:
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (Luqman: 12)
Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Said bin Musayyib. Maka Said menenangkannya dengan mengatakan: "Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim".
Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3 ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan mentaati perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong.
Sedangkan nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang maruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara (berbicara).
Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Atsir dalam kitab Usudul Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama Saad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya. Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Saad berkata dengan bijak kepada ibundanya: "Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka tidak masalah."
Akhirnya ibu Saad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.
Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta berbakti kepada keduanya.
Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah berkata :
"Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri kedua orang tuanya."
Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa akidi dan akhlaqi dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:
"Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu."
Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua.
Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan. Allahu alam.

urat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2214943/pendidikan-islami-gaya-lukmanul-hakim#sthash.xkVXsbBV.dpuf

Membangun GENERASI QUR'ANI Sejak Usia Dini

Membangun Sekolah Visioner
Oleh Jaja Jamaludin

Ajarilah anak-anakmu, karena mereka akan hidup bukan pada zamanmu (Saidina Ali r.a)

ARUS globalisasi yang amat deras telah, sedang dan akan terus dirasakan oleh lapisan masyarakat muslim di negeri kita. Intensitas arus globalisasi itu ternyata lebih dirasakan sebagai serangan "virus" kebudayaan yang tak menyisakan prilaku positif.

Tidak sedikit anak-anak seusia sekolah lebih mengkiblatkan pemikiran, prilaku dan gaya hidupnya kepada kaum hedonis-- sebagai anak kandung materialime secular--yang tampil hampir tiap saat di layar TV dan langsung menyerang ke dalam ruang-ruang kamar dan rumah anak-anak muslim. Andaikata, sistem keluarga, sistem sekolah, dan kultur masyarakat kita tidak menyadari dan tidak melakukan upaya protektif, niscaya generasi kita ke depan akan kehilangan jatidari dan orientasi hidup.

Persoalannya adalah apa yang dapat kita lakukan?
Bagaimana membangun proteksi sekaligus membangun karakter anak-anak kita menjadi generasi berkepribadian, memiliki ideologi yang kuat, memiliki orientasi hidup dan gaya hidup seperti Rasululla Saw?

Persoalan di atas dapat diklasifikasikan sesuai posisi dan peran kita. Sebagai orang tua segeralah dekati anak-anak, ajarilah mereka hidup sesuai ajaran yang telah Rasulullah Saw teladankan.
Sebagai institusi dan praktisi pendidikan persiapkan dan bangunlah paradigma sekolah visioner.

Kata visioner dalam judul di atas sesungguhnya diinterpretasi dari ucapan Saidina Ali ra di atas. Ungkapan Saidina Ali ra sangat jelas dan tegas bahwasannya mendidik anak-anak harus berorientasi kepada masa depan. Tentu saja, apa yang diajarkan saat ini kepada anak-anak kita haruslah mengandung bekal yang mampu menjawab tantangan masa depan mereka yang akan hidup bukan atau berbeda dengan zaman saat ini.

Dalam kata visioner tersebut juga include makna bahwa pendidikan harus berbasis pada tata Nilai Islami. Dengan kata lain, menyebut istilah visioner yang merujuk pada filosofi Saidina Ali ra tentu juga harus berwawasan Islam.

Sekolah atau institusi pendidikan seyogyanya telah menempatkan diri pada guide line di atas sebagai sekolah visioner. Sekolah visioner merupakan sekolah yang senantiasa kreatif dalam berpikir, bertindak menjunjung nilai-nilai luhur Islam, menghargai etika dan sosio kultur masyarakatnya yang positif.

Eksistensi sekolah visioner semacam ini pada gilirannya akan menjadi "magnet" bagi tumpuan dan harapan setiap orang tua. Sistem sekolah visioner senantiasa menempatkan siswa sebagai sentral dalam proses pendidikan. Sekolah visioner juga senantiasa memiliki visi dan upaya untuk menjemput peradaban masa depan.

Sedikitnya terdapat 4 (empat) faktor fundamental sistem sekolah yang menjadi identitas sekolah visioner.

Pertama, Sekolah visioner memiliki jati diri idiologi (eigen ideology) yang jelas dan tegas, yakni pradigma pendidikan Islami yang sekaligus menjadi mazhab dalam menyelenggarakan proses pendidikannya. Faktor eigen ideology ini merupakan syarat-mesti (necessary condition). Bila faktor ini tidak ada, dipastikan sekolah akan mengalami kondisi quo-vadis. Bahkan jika sekolah itu tetap dipertahankan, maka yang berlaku adalah wujuduhu ka adamihi (ada sekolah sama dengan tidak ada sekolah). Alih-alih ingin menghasilkan generasi unggul, yang keluar malah generasi tawuran, hedonis dan akrab dengan narkoba. Ini karena mereka (sekolah-sekolah itu) tidak memiliki eigen ideology sekolah.

Kedua, sekolah visioner didukung oleh suprastruktur yang memiliki pencerahan pemikiran dalam "membangun generasi qur'ani".
Pengurus yayasan, pimpinan sekolah, dewan guru, karyawan sekolah harus memahami eigen ideology sekolah. Mereka harus menjadi teladan dan bersih pikirannya dari money oriented. Termasuk dalam faktor kedua ini penciptaan iklim demokratis, partisipatif dan kolaboratif antar SDM sekolah menjadi bagian tak terpisahkan dari SDM sekolah tersebut. Pemenuhan syarat kedua ini akan memberikan jaminan bahwa sistem sekolah steril dari interes-interes liar yang acapkali diboncengkan oleh SDM sekolah.

Ketiga, sekolah visioner didukung oleh infrastruktur sistem persekolahan yang memadai. Sekolah visioner tidak menampilkan kemewahan dalam hal fasilitas sekolah namun memiliki fasilitas yang memadai untuk dapat sukses dalam mencapai target-target misi dan visi sekolah. Infrastruktur sekolah senantiasa efektif dan efesien karena sekolah visioner menyadari bahwa penghamburan dana merupakan tindakan kurang bijaksana.

Keempat, sekolah visioner senantisa memiliki sistem supervisi secara komprehensif. Supervisi dalam hal akademik, kesiswaan dan SDM sekolah. Seluruhnya dilakukan secara terus menerus dan konsisten. Dalam melakukan supervisi, sekolah visioner senantiasa berpijak pada prinsip transparansi dan objektivitas yang tinggi. Dalam supervisi, sekolah visioner tidak membiarkan iklim-iklim psikologis kurang baik berkembang karena hal itu hanya akan menyeret sistem sekolah kembali pada pola dan tradisi sekolah pada umumnya yang memang tidak sepenuhnya memiliki iklim psikologis kerja yang sehat.
(Penulis adalah Praktisi Pendidikan pada Sekolah Harapan Ibu Jakarta)


Pembelajaran Al-Qur’an Sejak Dalam Kandungan

Pembelajaran Al-Qur’an Sejak Dalam Kandungan



“Apabila anak Adam meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya.” (HR. Muslim).
Setiap pasangan suami istri beriman pasti merindukan anak sholeh. Untuk memiliki anak yang sholeh, pasangan suami istri wajib berusaha menjadi sholeh terlebih dahulu. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa segala perilaku ibu dan bapak akan dicontoh putra-putrinya. Untuk itu, semua ibu bapak harus menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Setiap pasangan suami istri yang merindukan anak sholeh wajib memperbanyak amal mulia, makan dan minum hanya yang halal saja, menjaga sholatnya, indah akhlaqnya, lembut hatinya, semangat bekerja, berlaku taqwa dan terus-menerus berdzikir, wirid, memperbanyak membaca do’a.
Islam mengajarkan barangsiapa menginginkan lahirnya generasi unggulan ia hendaknya menyiapkan sejak memilih pasangan. Ini artinya dari pasangan suami istri yang sholeh-sholehah akan lahir generasi yang sholeh-sholehah pula. Anak sholeh bukan hasil kerja instan! Jelasnya, anak sholeh tidak bisa dilahorkan kecuali atas izin Allah ddengangigih kita mengusahakan. Anak sholeh tidak dilahirkan tapi diciptakan.
Berbicara tentang anak, Anda sah-sah saja mengharapkan ia kelak menjadi dokter, jendral, ataupun presiden sekalipun. Tetapi menjadikannya sholeh-sholehah tetap prioritas utama! Mengapa\/ Pertama, karena anak sholeh yang mendoakan ibu bapaknya adalah salah satu di antara tiga amal yang pahalanya mengalir tiada habis-habisnya. Kedua, karenapermohonan ampun anak sholeh, dapat mengangkat derajat orang tuanya dapat masuk surga. Keempat, karena anak sholeh adalah peredam amarah Allah.
Segala sesuatu tergantung pada pendidikan yang sebenarnya. Ibu dan bapak adalah guru pertamadan utama. Keluarga adalah pusat pendidikan yang sebenarnya. Al-Qur’an adalah materi pendidikan utama yang harus diberikan sebelum lainnya. Jangan menunggu umur enam tahun, jangan menunggu umur empat tahun. Mulailah sedini mungkin. Mulailah segera. Mulailah sejak dalam kandungan. Ingat umur empat tahun sudah sangat terlambat!
Salah satu terobosan dalam melahirkan anak sholeh adalah dengan mengajar bayi anda membaca Al-Qur’an sejak dalam kandungan. Apakah bisa? Insya Allah bisa! Anda hanya membutuhkan kemauan, ketekunan, dan kesabaran. Sebagai bagian dari rasa syukur, inilah berita gembira untuk Anda. Anak-anak kami hasil eksperimen program sekolah Al-Qur’an sejak dalamkandungan menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Maryam Arrosikha, empat tahun dapat membaca Al-Qur’an. empat bulan kemudian, dia dapat membaca cerita, buku, dan majalah berhuruf latin, bahkan di TK, ia khatam Al-Qur’an 30 juz. Aisyah Mujahida, adiknya, khatam membaca Al-Qur’an dan lancar membaca tulisan latin ketika di TK. Faqih Abdullah, anak kami yang ketiga sejak berusia 13 bulan, Alhamdulillah menunjukkan kesenangan membaca yang sangat tinggi. Dari pengalaman itu, kami menginginkan agar setiap bayi mendapatkan pelajaran Al-Qur’an sejak dalam kandungan. Insya Allah sangat bermanfaat.
Bagaimana caranya?

Inilah pertanyaan yang paling sering disampaikan.
Jawabannya:
Rahasia sukses mengajar Al-Qur’an sejak dalam kandungan adalah
R – U – M – U – S – A – B – C – D
Apa maksudnya?
R = Rumah. Maksudnya rumah adalah pusat pendidikan sejati.
U = Usaha. Maksudnya ilmu itu dipelajari.
M = Metodis. Maksudnya metodenya cocok dan meyenangkan
U = Upah. Maksudnya setiap prestasi anak hendaknya dihargai (dicium, peluk yang hangat, dan dipuji).
S = Sabar. Maksudnya ibu dan bapak harus betul-betul sabar. Ibu dan Bapak tidak boleh mengatakan jangan nakal sambil berlaku nakal (misalnya mencubit, memukul, menjewer, atau marah-marah).
A = Ajeg. Maksudnya pemberian stimulasi hendaknya diberikan secara ajeg, walaupun sangat sebentar.
B = Bermain. Maksudnya stimulasi diberikan sambil bermain. Dengan demikian, anak senang, orangtuapun senang.
C = Contoh. Maksudnya orang tua hendaknya ,emjadi contoh atau mentor.
D = Do’a. Maksudnya orang tua berdo’a untuk kesusesan anak. Di samping segala sesuatu diawali dan diakhiri dengan do’a.
Siapapun yang ingin memberikan pendidikan kepada anak-anaknya sejak dini ia tidak boleh melewatkan masa emas belajar anaknya. Masa emas belajar itu adalah saat bayi di kandungan, dan ketika bayi berusia nol sampai 4 tahun. Singkatnya, pendidikan empat tahun pertama sangat menentukan. Pendidikan anak usia dini (0-6 tahn) lebih penting dibanding pendidikan dua puluh tahun yang diberikan kemudian. Sayang sekali, banyak yang mengabaikan pentingnya pendidikan usia dini. Sudah saatnya semua ibu bapak memperhatikan nasihat Buckminster Fuller berikut ini. “Setiapanak terlahir jenius, tetapi kita memupus kejeniusan meeka dalam enam bulan pertama.”
Tugas seorang bayi bukanlah sekadar mami tipis (makan, minum, tidur, dan pipis (ngompol). Ajaklah anak Anda bermain. Janganlah biarkan ia kesepian, nganggur, dan bengong. Ajaklah ia belajar membaca sambil mengenal Tuhannya. Ikutilah metode penddiikan turunnya Al-Qur’an wahyu pertama. Ajarilah anak Anda membaca Al-Qur’an sejak dalam kandungan.

Oleh: Drs. Mustofa AY

Minggu, 27 Maret 2016

Riba Meruntuhkan Daulah Utsmaniyah

Inilah Sebab Runtuhnya Daulah Utsmani
Tanggal 3 Maret (1924) diperingati sebagai runtuhnya Daulah Ustmani. Itu formalitasnya. Sebab proses menua dan membusuknya kekhalifahan Islam terakhir ini telah berlangsung selama 50 tahun lamanya, sebelum resmi dinyatakan bubar. Namun, kekhalifahan tidak akan selamanya kosong, ini hanya masa jeda belaka. Maka, penting untuk memahami akar penyebab runtuhnya daulah, hingga wacana untuk kembali bukan sekadar wacana. Kembalinya kekhalifahan harus, dan bisa, diupayakan oleh umat Islam, ketika mengetahui road map-nya. Hancur Karena Riba Pertama-tama harus dimengerti, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdalqadir-As Sufi dalam The Return of the Khalifate (1996), keruntuhan Daulah Utsmani bukan karena kekalahan militer, tapi karena muslihat kapitalisme. Dengan berbagai manuver Daulah Utsmani dihancurkan melalui jerat utang yang tak tertanggungkan. Dan, dengan itu, Daulah Utsmani dipaksa untuk melakukan reformasi total, setelah sekitar 50 tahun ’digarap’, dan berakhir dengan tunduk sepenuhnya pada sistem Negara Fiskal (integrasi demokrasi-kapitalisme). Strategi kaum kapitalis dilakukan melalui dua mata pisau: pelaksanaan proyek-proyek nasional dan penyediaan kredit oleh perbankan, terutama sejak Sultan Mahmut (1808-1839) yang silau akan Eropa. Kita mengenalnya sekarang sebagai Utang Negara. Proyek utamanya, antara lain, pembangunan jaringan kereta api ’Orient Railway’ yang menghubungkan Eropa-Asia; dan pembangunan Istana Dolmabahce yang megah, menggantikan Topkapi (1815). Akibat jerat utang tiap kali otoritas di Istambul terpaksa mengambil kredit untuk proyek baru atau menyelesaikan kredit-kredit lama. Tentu, tidak dengan cuma-cuma, tapi dengan syarat-syarat tertentu: bunga yang makin mencekik (60%) dan, setelah dinyatakan bangkrut, harus meliberalisasi politik dan ekonominya. Pada 1875 Sultan saat itu, Abdalaziz, dipaksa memoratorium utangnya kepada perbankan sebesar 200 juta pound. Setahun kemudian, 1876, titik menentukan itu pun tiba: Istambul dinyatakan bangkrut, dan dipaksa membentuk ’Komisi Internasional’, yang mewakili para pemodal asing untuk memastikan pembayaran utang-utang. Belakangan, 1908, menjelang jatuhnya Sultan Abdulhamid II, karena manuver kekuatan nasionalis liberal Turki Muda, sebuah lembaga sejenis, ’Administration of Ottoman Public Debt’, kembali dibentuk. Dalam enam belas tahun terakhir sampai kudeta oleh Kemal Attaturk, 1924, Daulah Utsmani dipimpin oleh sultan-sultan boneka, setelah dua tahun sebelumnya Kekhilafahan dipreteli dari Kesultanan, 1922. Jaringan para bankir dari Perancis, Inggris, Austria, Jerman, dan Swiss – dari keluarga-keluarga Rothschilds, Cassel, Barings – ada di balik semua ini. Rongrongan oleh perbankan bukan cuma dilakkan di Istambul, tapi juga di salah satu provinsi utamanya, Mesir. Ada tiga proyek besar, pembangunan Terusan Suez, Dam Aswan, dan industri gula, yang disodorkan kepada Khadive Islmail (Gubernur Utsmani di Kairo). Dimulailah investasi perbankan yang akhirnya menjerat Muslim Mesir dalam utang nasional sampai hari ini. Khadive Ismail mengambil kredit kepada Cassel untuk pabrik gula itu sebesar 7 juta pound, bunga 7%/tahun. Pada 1873 sindikasi Bischoffseim memberikan kredit kepadanya sebesar 32 juta pound, dengan bunga sama 7%. Karena jerat utang yang makin menyulitkan Khadive Ismail dipaksa melakukan ’swastanisasi’, menjual saham Terusan Suez kepada Pemerintah Inggris sebesar 4 juta pound, sambil menambah kredit lagi sebesar 8 juta pound dari Anglo-Egyptian Bank. Pemerintah Mesir, pada 1876, memiliki pendapatan nasional hanya sebesar 19 juta pound, tapi utangnya mencapai 91 juta pound. Dan kelak, sekitar dua dekade kemudian, di bawah bendera pembaruan Islam, Muhamad Abduh menghalalkan riba (1899), dan segera mengikutinya, pada 1900, berdiri Post-Office Saving Bank dan, pada 1902, Agricultural Bank. Kini bukan saja pemerintah, tapi para petanti dan rakyat kebanyakan, dijerat utang. Mesir ketika itu ada di bawah Gubernur Lord Cromer, aslinya Kapten Evelyn Barings – kaki tangan bankir dari Keluarga Barings, yang mengangkat Abduh menjadi Mufti Al Azhar, 1899. Beberapa saat kemudian dia menghalalkan riba, yang memungkinkan berdirinya dua bank tersebut. Bermainnya para bankir ini mempercepat ’pembusukan’ dari dalam, yang berlangsung melalui serangkaian ’Reformasi’ (Tanzimat) di masa Sultan Abdulmejid I dan Abdulaziz (1839-76), sampai titik kebangkrutan di atas, dengan dalih modernisasi. Beberapa elemen terpenting dari Tanzimat adalah diadopsinya doktrin persamaan hak bagi warga nonmuslim, yang berimpilkasi penghapusan segala bentuk pajak atas dasar Syariah, Jizya (1839), penghapusan sepenuhnya hukum dhimmi (1857), izin pemilikan tanah bagi orang asing (1867), pengenalan dan penerapan sistem peradilan sekuler, Nizamiye (1869) menggantikan peradilan Syariah, dan pencetakan dan peredaran uang kertas kaime saat Istambul dinyatakan bangkrut di atas (1876), setelah pecobaan pertama (1839) ditolak umat. Sebelum itu semua, pada 1826, Sultan Mahmut lebih dulu dipaksa membubarkan’Tentara Jihad’, Janissari; dan memisahkan pendidikan Islam dan sekuler. Dari Tanzimat pula perlahan-lahan terbentuk suatu kelas birokrat, Memurs, menggantikan otoritas lokal otonom, para Amir. Kelas Memurs adalah orang-orang berpendidikan modern dan pro-sekularisasi dan westernisasi. Dengan kata lain sejak awal Reformasi dirancang dengan satu tujuan akhir: dipaksanya Istambul untuk meninggalkan Nomokrasi Islam, dan menggantikannya dengan Demokrasi, membentuk Negara Fiskal. Kini Republik Turki adalah satu negeri ’pariah’ di Eropa, sebagai ’negeri berkermbang’, dengan utang luar negeri begitu besar dan inflasi tertinggi di dunia. Kembalinya Otoritas dan Muamalah Dari sini kita dapat melihat Kapitalisme-lah yang mengancurkan Daulah Utsmani; satu kekuatan yang sampai hari juga melumpuhkan seluruh umat Islam di dunia. Karenanya, untuk kembali menegakkan Islam, proses yang sebaliknya harus dilakukan: tinggalkan Kapitalisme dan kembali kepada Muamalah. Simbol dan kekuatan utama Kapitalisme adalah alat pembayaran uang kertas dengan mesin perbankannya. Dengan keduanya kredit dapat diciptakan secara tak terbatas dari kehampaan, dan secara ampuh menjadi alat penindasan. Uang kertas adalah secarik kertas tanpa harga kecuali nilai legal angka nominal di atasnya yang dipaksakan oleh ketetapan hukum. Dalam Islam kebebasan yang sejati direpresentasikan dalam kebebasan setiap orang untuk memilih sendiri alat pembayaran. Dan, ketika kebebasan itu tersedia, semua orang memilih emas dan perak, Dinar dan Dirham. Kembalinya Dinar dan Dirham akan mengawali berakhirnya Kapitalisme dan cengkeramannya terhadap dunia Islam. Sebab, kembalinya Dinar dan Dirham memprasyaratkan kembalinya otoritas di satu sisi dan mengembalikan muamalah di sisi lain. Tafsir atas ayat Ali Imran 62 (’Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri di antaramu’), dari Imam Al Qurtubi memberikan petunjuk akan keharusan menegakkan otoritas Islam: umat Islam harus mengorganisir dirinya dibawah pimpinan seorang Amir, atau Sultan, dengan beberapa tugas pokok. Rasulallah saw juga berpesan begitu ada tiga orang Muslim atau lebib maka satu di antaranya harus diangkat menjadi Amir di antara mereka. Tugas seorang Amir atau Sultan, menurut Imam Qurtubi, adalah (1) mencetak serta menjamin kemurnian dan kebenaran timbangan Dinar dan Dirham, (2) menjamin dan menjaga kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar, (3) menetapkan dan mengotorisasi dua salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan salat Jum’at, (4) menunjuk petugas zakat, menarik, dan mendistribusikannya menurut ketentuan yang ada, serta (5) menyiapkan diri untuk memimpin jihad saat diperlukan, dan mengumpulkan dan membagikan ghanimah. Dari sini dapat dipahami dengan jelas kaitan antara otoritas Islam serta muamalah dan ibadah. Dua elemen dasarnya adalah pengembalian Dinar dan Dirham dan penegakkan rukun zakat, yang hanya dapat dijalankan di bawah suatu Amirat atau Sultaniyya. Zakat adalah sedekah yang harus diambil (dengan otoritas) dan bukan diserahkan secara sukarela seperti yang dipraktekan saat ini, dan hanya bisa dibayarkan dalam emas dan perak (’ayn) dan bukan dengan uang kertas (surat utang, dayn). Sekali otoritas berdiri, mumalah dan rukun zakat akan kembali, Kapitalisme dapat mulai diakhiri; dan bukan justru diasimilasi dalam ’Bank Islam’ dan ’Negara Islam’. oleh: Zaim Zaidi [aktivis sosial]