Minggu, 27 Maret 2016

Riba Meruntuhkan Daulah Utsmaniyah

Inilah Sebab Runtuhnya Daulah Utsmani
Tanggal 3 Maret (1924) diperingati sebagai runtuhnya Daulah Ustmani. Itu formalitasnya. Sebab proses menua dan membusuknya kekhalifahan Islam terakhir ini telah berlangsung selama 50 tahun lamanya, sebelum resmi dinyatakan bubar. Namun, kekhalifahan tidak akan selamanya kosong, ini hanya masa jeda belaka. Maka, penting untuk memahami akar penyebab runtuhnya daulah, hingga wacana untuk kembali bukan sekadar wacana. Kembalinya kekhalifahan harus, dan bisa, diupayakan oleh umat Islam, ketika mengetahui road map-nya. Hancur Karena Riba Pertama-tama harus dimengerti, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdalqadir-As Sufi dalam The Return of the Khalifate (1996), keruntuhan Daulah Utsmani bukan karena kekalahan militer, tapi karena muslihat kapitalisme. Dengan berbagai manuver Daulah Utsmani dihancurkan melalui jerat utang yang tak tertanggungkan. Dan, dengan itu, Daulah Utsmani dipaksa untuk melakukan reformasi total, setelah sekitar 50 tahun ’digarap’, dan berakhir dengan tunduk sepenuhnya pada sistem Negara Fiskal (integrasi demokrasi-kapitalisme). Strategi kaum kapitalis dilakukan melalui dua mata pisau: pelaksanaan proyek-proyek nasional dan penyediaan kredit oleh perbankan, terutama sejak Sultan Mahmut (1808-1839) yang silau akan Eropa. Kita mengenalnya sekarang sebagai Utang Negara. Proyek utamanya, antara lain, pembangunan jaringan kereta api ’Orient Railway’ yang menghubungkan Eropa-Asia; dan pembangunan Istana Dolmabahce yang megah, menggantikan Topkapi (1815). Akibat jerat utang tiap kali otoritas di Istambul terpaksa mengambil kredit untuk proyek baru atau menyelesaikan kredit-kredit lama. Tentu, tidak dengan cuma-cuma, tapi dengan syarat-syarat tertentu: bunga yang makin mencekik (60%) dan, setelah dinyatakan bangkrut, harus meliberalisasi politik dan ekonominya. Pada 1875 Sultan saat itu, Abdalaziz, dipaksa memoratorium utangnya kepada perbankan sebesar 200 juta pound. Setahun kemudian, 1876, titik menentukan itu pun tiba: Istambul dinyatakan bangkrut, dan dipaksa membentuk ’Komisi Internasional’, yang mewakili para pemodal asing untuk memastikan pembayaran utang-utang. Belakangan, 1908, menjelang jatuhnya Sultan Abdulhamid II, karena manuver kekuatan nasionalis liberal Turki Muda, sebuah lembaga sejenis, ’Administration of Ottoman Public Debt’, kembali dibentuk. Dalam enam belas tahun terakhir sampai kudeta oleh Kemal Attaturk, 1924, Daulah Utsmani dipimpin oleh sultan-sultan boneka, setelah dua tahun sebelumnya Kekhilafahan dipreteli dari Kesultanan, 1922. Jaringan para bankir dari Perancis, Inggris, Austria, Jerman, dan Swiss – dari keluarga-keluarga Rothschilds, Cassel, Barings – ada di balik semua ini. Rongrongan oleh perbankan bukan cuma dilakkan di Istambul, tapi juga di salah satu provinsi utamanya, Mesir. Ada tiga proyek besar, pembangunan Terusan Suez, Dam Aswan, dan industri gula, yang disodorkan kepada Khadive Islmail (Gubernur Utsmani di Kairo). Dimulailah investasi perbankan yang akhirnya menjerat Muslim Mesir dalam utang nasional sampai hari ini. Khadive Ismail mengambil kredit kepada Cassel untuk pabrik gula itu sebesar 7 juta pound, bunga 7%/tahun. Pada 1873 sindikasi Bischoffseim memberikan kredit kepadanya sebesar 32 juta pound, dengan bunga sama 7%. Karena jerat utang yang makin menyulitkan Khadive Ismail dipaksa melakukan ’swastanisasi’, menjual saham Terusan Suez kepada Pemerintah Inggris sebesar 4 juta pound, sambil menambah kredit lagi sebesar 8 juta pound dari Anglo-Egyptian Bank. Pemerintah Mesir, pada 1876, memiliki pendapatan nasional hanya sebesar 19 juta pound, tapi utangnya mencapai 91 juta pound. Dan kelak, sekitar dua dekade kemudian, di bawah bendera pembaruan Islam, Muhamad Abduh menghalalkan riba (1899), dan segera mengikutinya, pada 1900, berdiri Post-Office Saving Bank dan, pada 1902, Agricultural Bank. Kini bukan saja pemerintah, tapi para petanti dan rakyat kebanyakan, dijerat utang. Mesir ketika itu ada di bawah Gubernur Lord Cromer, aslinya Kapten Evelyn Barings – kaki tangan bankir dari Keluarga Barings, yang mengangkat Abduh menjadi Mufti Al Azhar, 1899. Beberapa saat kemudian dia menghalalkan riba, yang memungkinkan berdirinya dua bank tersebut. Bermainnya para bankir ini mempercepat ’pembusukan’ dari dalam, yang berlangsung melalui serangkaian ’Reformasi’ (Tanzimat) di masa Sultan Abdulmejid I dan Abdulaziz (1839-76), sampai titik kebangkrutan di atas, dengan dalih modernisasi. Beberapa elemen terpenting dari Tanzimat adalah diadopsinya doktrin persamaan hak bagi warga nonmuslim, yang berimpilkasi penghapusan segala bentuk pajak atas dasar Syariah, Jizya (1839), penghapusan sepenuhnya hukum dhimmi (1857), izin pemilikan tanah bagi orang asing (1867), pengenalan dan penerapan sistem peradilan sekuler, Nizamiye (1869) menggantikan peradilan Syariah, dan pencetakan dan peredaran uang kertas kaime saat Istambul dinyatakan bangkrut di atas (1876), setelah pecobaan pertama (1839) ditolak umat. Sebelum itu semua, pada 1826, Sultan Mahmut lebih dulu dipaksa membubarkan’Tentara Jihad’, Janissari; dan memisahkan pendidikan Islam dan sekuler. Dari Tanzimat pula perlahan-lahan terbentuk suatu kelas birokrat, Memurs, menggantikan otoritas lokal otonom, para Amir. Kelas Memurs adalah orang-orang berpendidikan modern dan pro-sekularisasi dan westernisasi. Dengan kata lain sejak awal Reformasi dirancang dengan satu tujuan akhir: dipaksanya Istambul untuk meninggalkan Nomokrasi Islam, dan menggantikannya dengan Demokrasi, membentuk Negara Fiskal. Kini Republik Turki adalah satu negeri ’pariah’ di Eropa, sebagai ’negeri berkermbang’, dengan utang luar negeri begitu besar dan inflasi tertinggi di dunia. Kembalinya Otoritas dan Muamalah Dari sini kita dapat melihat Kapitalisme-lah yang mengancurkan Daulah Utsmani; satu kekuatan yang sampai hari juga melumpuhkan seluruh umat Islam di dunia. Karenanya, untuk kembali menegakkan Islam, proses yang sebaliknya harus dilakukan: tinggalkan Kapitalisme dan kembali kepada Muamalah. Simbol dan kekuatan utama Kapitalisme adalah alat pembayaran uang kertas dengan mesin perbankannya. Dengan keduanya kredit dapat diciptakan secara tak terbatas dari kehampaan, dan secara ampuh menjadi alat penindasan. Uang kertas adalah secarik kertas tanpa harga kecuali nilai legal angka nominal di atasnya yang dipaksakan oleh ketetapan hukum. Dalam Islam kebebasan yang sejati direpresentasikan dalam kebebasan setiap orang untuk memilih sendiri alat pembayaran. Dan, ketika kebebasan itu tersedia, semua orang memilih emas dan perak, Dinar dan Dirham. Kembalinya Dinar dan Dirham akan mengawali berakhirnya Kapitalisme dan cengkeramannya terhadap dunia Islam. Sebab, kembalinya Dinar dan Dirham memprasyaratkan kembalinya otoritas di satu sisi dan mengembalikan muamalah di sisi lain. Tafsir atas ayat Ali Imran 62 (’Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri di antaramu’), dari Imam Al Qurtubi memberikan petunjuk akan keharusan menegakkan otoritas Islam: umat Islam harus mengorganisir dirinya dibawah pimpinan seorang Amir, atau Sultan, dengan beberapa tugas pokok. Rasulallah saw juga berpesan begitu ada tiga orang Muslim atau lebib maka satu di antaranya harus diangkat menjadi Amir di antara mereka. Tugas seorang Amir atau Sultan, menurut Imam Qurtubi, adalah (1) mencetak serta menjamin kemurnian dan kebenaran timbangan Dinar dan Dirham, (2) menjamin dan menjaga kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar, (3) menetapkan dan mengotorisasi dua salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan salat Jum’at, (4) menunjuk petugas zakat, menarik, dan mendistribusikannya menurut ketentuan yang ada, serta (5) menyiapkan diri untuk memimpin jihad saat diperlukan, dan mengumpulkan dan membagikan ghanimah. Dari sini dapat dipahami dengan jelas kaitan antara otoritas Islam serta muamalah dan ibadah. Dua elemen dasarnya adalah pengembalian Dinar dan Dirham dan penegakkan rukun zakat, yang hanya dapat dijalankan di bawah suatu Amirat atau Sultaniyya. Zakat adalah sedekah yang harus diambil (dengan otoritas) dan bukan diserahkan secara sukarela seperti yang dipraktekan saat ini, dan hanya bisa dibayarkan dalam emas dan perak (’ayn) dan bukan dengan uang kertas (surat utang, dayn). Sekali otoritas berdiri, mumalah dan rukun zakat akan kembali, Kapitalisme dapat mulai diakhiri; dan bukan justru diasimilasi dalam ’Bank Islam’ dan ’Negara Islam’. oleh: Zaim Zaidi [aktivis sosial]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar